Episode Nirmana

Kamis, 24 November 2022 21:00 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content
Episode Nirmana.
Iklan

Cerpen Episode Nirmana. Niskala peristiwa imaji. Kau lihat gugusan awan-awan memeluk bukit-bukit, tak terhingga. Aku tidak bisa membayangkan. Jika putaran ekosistem semesta mendadak berhenti.

Tafakur. Di hening tanpa batas.

Bahagia. Mungkin, di kegembiraan tanpa batas. Mungkin, ada juga kekejaman tanpa batas.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Lintasan berbagai peristiwa, ada, sejak janin di dalam kandungan, dilahirkan, masa pertumbuhan, hanya perasaan-perasaan semirip kegembiraan, riang hati, hingga usia balita menuju akil balig. 

Waktu tempuh menuju dewasa, kegetiran, asam manis, hitam putih, pahit asin, warna warni, musikalisasi keadaban. Pantun mengalun merangkai gurindam, tertulis sajak-sajak kehidupan.

Ia bersimpuh. Bersujud. Di pusaran zikir alam raya.

Daulat hati kembali mengukir kisah-kisah di waktu tempuh. "Tidak diragukan lagi." Petugas penyidik, tegas. Tim petugas segera mengevakuasi jenazah. menuju autopsi. Suara sirene ambulans mengangkasa. 

"Identitas." Tegas fokus.

"Fakta mendukung. Teridentifikasi. Data telah terperinci oleh tim forensik." Lantas keduanya meninggalkan lokasi. 

Tanah di tempat kejadian, saksi perjalanan, saatnya nanti pasti 'kan bertanya. 

**

Bunga pengantin dilemparkan keangkasa, modernisme, berebutan menangkap makna. "Jodoh!" Suara renyah saling berdampingan. 

Mereka, berbagi bunga. "Nih, biar jodohnya menyebar." Suara-suara kegembiraan, bahagia, pecah telur masa lajang, di pelaminan.

"Dia masih ganteng."

"Masih merindu?"

"Enggaklah. Sudah lewat masa kampus. Anakku dua. Anakmu?"

"Mau tiga. Nih baru telat tiga minggu."

"Kau tak terlihat mengidam."

"Dari dulu aku 'kan badak. Itu, membuat mantanmu jadi suamiku." Lantas keduanya, menderaikan tawa kebahagiaan. Kereta dalam kota membawa kerumah impian masing-masing.

**

Waktu berjalan sebagaimana mestinya. Cuaca kehidupan menentukan harapan, demikian pula sebaliknya. Sebagaimana alam senantiasa memberi kebaikan, diperlukan keseimbangan, telaah hidup, menentukan tujuan-tujuan, saksama.

"Kau lihat gugusan awan-awan memeluk bukit-bukit tak terhingga. Aku tidak bisa membayangkan. Jika putaran ekosistem semesta mendadak berhenti."

"Gravitasi berhenti?"

"Ya."

"Jangan dong. Nanti enggak bisa naik gunung lagi." Keduanya memandangi Kaleidoskopis gambar-gambar panorama pagi nan indah nun sebatas pandangan mata di kurva horizon. Sejauh, kearifan mereka pada alam. 

***

Jakarta Indonesiana, November 24, 2022.  

Bagikan Artikel Ini
img-content
Taufan S. Chandranegara

Penulis Indonesiana

1 Pengikut

img-content

Bronk

Minggu, 6 Juli 2025 17:50 WIB
img-content

Militerisme? Biarin Aja

Sabtu, 5 Juli 2025 14:29 WIB

Baca Juga











Artikel Terpopuler











Terkini di Fiksi

img-content
img-content
img-content
img-content
img-content
Lihat semua

Terpopuler di Fiksi

Lihat semua